NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL LAHAN BASAH
MASYARAKAT SUKU BANJAR.
PASAR TERAPUNG, MUARA
KUIN KALSEL
1.
Konon, pasar
terapung sudah mulai ada sejak Sultan Suriansyah mendirikan kerajaan di tepi
Sungai Kuin dan Barito pada tahun 1526, yang kemudian menjadi cikal bakal Kota
Banjarmasin. Pasar Muara Kuin tergolong unik, sebab selain melakukan aktivitas
jual-beli di atas air, juga tidak memiliki organisasi seperti pada pasar-pasar
yang ada di darat. Jadi, tidak dapat diketahui berapa jumlah pedagang atau
pembagian pedagang berdasarkan barang dagangannya.
Aktivitas Pasar
Suasana pasar
Muara Kuin mulai hidup sekitar pukul 03.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita) atau
setelah subuh, para pedagang menggunakan perahu jukung, yaitu sejenis perahu
kecil yang terbuat dari kayu utuh. Para pedagang kebanyakan adalah kaum
perempuan yang mengenakan pakaian tanggui dan caping lebar khas Banjar yang
terbuat dari daun rumbia. Barang-barang yang mereka jual umumnya sama seperti
pasar-pasar tradisional yang ada di darat, yaitu beras, sayur-mayur,
buah-buahan, ikan, penganan (makanan) dan lain sebagainya.
Sementara para
pedagang mulai berkumpul, para pembeli mulai datang dengan menggunakan jukung
sendiri maupun sewaan. Suasana pasar menjadi ramai dengan hilir-mudiknya jukung,
baik besar maupun kecil untuk transaksi. Apabila keadaan pasar sudah terlalu
ramai dan perahu-perahu sudah berdesak-desakan, maka para pembeli dapat
meloncat dari satu perahu ke perahu yang lain untuk membeli barang yang
diinginkannya. Sebagai catatan, di pasar terapung ini juga sering terjadi
transaksi barter antarpedagang yang dalam bahasa Banjar disebut bapanduk.
Apabila fajar
mulai menyingsing dan pasar mulai
terbawa arus
sungai, maka kegiatan jual-beli di pasar pun berangsur-angsur mulai berakhir.
Para pedagang dan pembeli akan segera pulang ke kampung masing-masing, yang
umumnya berada di sepanjang Sungai Barito dan anak-anak sungainya. Jadi, setiap
harinya kegiatan transaksi di pasar ini hanya berlangsung sekitar 3 atau 4 jam
saja.
Aktivitas pasar
terapung di muara Sungai Kuin yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini
oleh pemerintah daerah Kalimantan Selatan akhirnya dijadikan sebagai obyek
wisata andalan bagi pendapatan daerah dari sektor pariwisata. Panorama pasar
terapung beserta kehidupan masyarakatnya yang tinggal di sepanjang tepian
sungai menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin menikmati
suasana pedesaan khas Banjar.
Untuk dapat
menikmati eksotisme pasar terapung di muara Sungai Kuin-Barito dapat ditempuh
melalui dua rute. Rute pertama, dari Kota Banjarmasin dengan menggunakan
angkutan darat yang hanya memakan waktu sekitar 15 menit. Sedangkan, rute kedua
dengan menggunakan perahu motor yang disebut kelotok. Harga sewa dari sebuah
kelotok berkisar antara Rp50.000,00 hingga Rp70.000,00, tergantung dari jumlah
penumpang. Apabila menggunakan perahu kelotok, dari Kota Banjarmasin menuju ke
pasar Muara Kuin memakan waktu sekitar 1 jam.
2. PERTANIAN LAHAN RAWA
sumber : https://pxhere.com/en/photo/863283
Sistem pertanian yang dipraktekkan oleh
petani Banjar di lahan rawa (lahan pasang surut, lebak, dan gambut) Kalimantan
bagian selatan terutama di kawasan Delta Pulau Petak oleh para ahli, misalnya
Collier, 1980: Ruddle, 1987; van Wijk, 1951; dan Watson, 1984, disebut sebagai
Sistem Orang Banjar (Banjarese System) (Leevang, 2003). Salah satu penemuan
petani Banjar adalah ilmu pengetahuan teknologi dan kearifan tradisional dalam
pembukaan (reklamasi), pengelolaan, dan pengembangan pertanian lahan rawa.
Lahan rawa lebak telah dimanfaatkan selama berabad-abad oleh penduduk lokal dan
pendatang secara cukup berkelanjutan. Menurut Conway (1985), pemanfaatan secara
tradisional itu dicirikan oleh (Haris, 2001):
Pemanfaatan
berganda (multiple use) lahan, vegetasi, dan hewan. Di lahan rawa, masyarakat
tidak hanya menanam dan memanen padi, sayuran, dan kelapa, tetapi juga
menangkap ikan, memungut hasil hutan, dan berburu hewan liar.
Penerapan teknik
budidaya dan varietas tanaman yang secara khusus disesuaikan dengan kondisi
lingkungan lahan rawa tersebut.
Teknik-teknik
canggih dan rendah energi untuk transformasi pertanian yang berhasil pada lahan
rawa lebak di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah telah dikembangkan dan
diperluas dalam beberapa dekade oleh orang-orang Banjar, Bugis, dan migran dari
Jawa. Ketiga kelompok ini mempergunakan sistem yang hampir seluruhnya
berdasarkan model yang dikembangkan oleh orang Banjar (Ruddle, dalam Haris,
2001).
Sistem orang
Banjar merupakan sistem pertanian tradisional lahan rawa yang akrab dan selaras
dengan alam, yang disesuaikan dengan situasi ekologis lokal seperti tipologi
lahan dan keadaan musim yang erat kaitannya dengan keadaan topografi, kedalaman
genangan, dan ketersediaan air. MacKinnon et al. (1996) menilai sistem ini
sebagai sistem multicropping berkelanjutan yang berhasil pada suatu lahan
marjinal, sistem pertanian yang produktif dan self sustaining dalam jangka
waktu lama. Hal ini terlihat dari penerapan sistem surjan Banjar dan pola
suksesi dari pertanaman padi menjadi kelapa–pohon, buah-buahan–ikan yang
diterapkan petani Banjar (Haris, 2001).
Pertanian lahan
rawa lebak yang dilakukan oleh Orang/Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah umumnya masih dikelola secara tradisional, mulai dari
persemaian benih padi, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama, penyakit dan
gulma, pengelolaan air, panen, hingga pasca panen. Fenomena alam dijadikan
indikator dan panduan dalam melaksanakan kegiatan bercocok tanam.
Ketergantungan pada musim dan perhitungannya pun masih sangat kuat. Apabila
menurut perhitungan sudah waktunya untuk bertanam, maka para petani akan mulai
menggarap sawahnya. Sebaliknya, apabila perhitungan musim menunjukkan
kondisinya kurang baik, maka umumnya para petani akan beralih pada
pekerjaanlainnya.Sebagai upaya penganekaan tanaman, petani memodifikasi kondisi
lahan agar sesuai dengan komoditas yang dibudidayakan. Petani membuat sistem
surjan Banjar (tabukan tembokan/tukungan/baluran). Dengan penerapan sistem ini,
di lahan pertanian akan tersedia lahan tabukan yang tergenang (diusahakan untuk
pertanaman padi atau menggabungkannya dengan budidaya ikan, mina padi) dan
lahan tembokan/tukungan/baluran yang kering (untuk budidaya tanaman palawija,
sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman tahunan dan tanaman industri). Pengolahan
tanah menggunakan alat tradisional tajak, sehingga lapisan tanah yang diolah
tidak terlalu dalam, dan lapisan pirit tidak terusik. Dengan demikian,
kemungkinan pirit itu terpapar ke permukaan dan teroksidasi yang menyebabkan
tanah semakin masam, dapat dicegah. Pengolahan tanah dilakukan bersamaan dengan
kegiatan pengelolaan gulma (menebas, memuntal, membalik, menyebarkan) yang
tidak lain merupakan tindakan konservasi tanah, karena gulma itu dikembalikan
ke tanah sebagai pupuk organik (pupuk hijau). Selain sebagai pupuk, rerumputan
gulma yang ditebarkan secara merata menutupi permukaan lahan sawah juga
berfungsi sebagai penekan pertumbuhan anak-anak rumput gulma.
BUDIDAYA IKAN DILAHAN
GAMBUT
sumber
:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPyEWi89tkUc8EeNhH9GAXOWZ1h9s-Q2QSSc3P0pJFGGnT2GGp39pXiqJmQx0kBORwe7HyY6Kw_lEapsC1Rv8-SGWmiSDHPfqHoHbBdd-DRGZ42WZip_9i7j0DBHy8FEtZI7nVkETiGyqa/s1600/Foto0097.jpg
Martapura,
(Kalsel) - Budidaya ikan air tawar terutama jenis patin dan nila di lahan
gambut layak dilakukan sehingga potensi lahan gambut yang banyak tersebar di
Kalimantan bisa dimanfaatkan lebih maksimal. Kepala Balai Perikanan Budidaya
Air Tawar Mandiangin Kabupaten Banjar Endang Mudjiutami di Kota Martapura,
Kalsel, Minggu mengatakan, pihaknya sudah melakukan percontohan. "Percontohan
budidaya patin dan nila di lahan gambut sudah dilakukan di Desa Garung
Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalteng," ujarnya. Ia
mengatakan, perkembangan budi daya ikan air tawar di Kalteng masih didominasi
budidaya kolam menggunakan air sistem pasang surut mengandalkan naik turun air
sungai. Hal itu sering terkendala datangnya air asam dengan Ph rendah kurang
lebih 3 yang berasal dari lahan gambut sehingga menyebabkan kematian ikan
budidaya di dalam kolam. "Informasi dari pembudidaya ikan, faktor keasaman
air yang menjadi kendala bagi pengembangan budidaya ikan di Kalteng sehingga
dilakukan percontohan budidaya," ungkapnya. Menurut dia, dipilihnya ikan
patin siam (pangasius hypophthalmus) karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan
cenderung lebih tahan terhadap oksigen rendah dan keasaman air. Sedangkan ikan
nila (oreochromis niloticus) adalah salah satu komoditas unggulan Kementerian
Kelautan dan Perikanan disamping mampu bertahan terhadap lingkungan yang buruk.
Dikatakan, pembudidayaan ikan di lahan gambut dimulai persiapan kolam dengan
pengeringan dan pengolahan tanah untuk membuang seluruh air dan lumpur hingga
dasar kolam. Kemudian pengapuran memakai kapur tohor untuk membasmi hama atau
penyakit, memperbaiki struktur tanah dan menaikkan Ph dengan dosis kurang dari
300 gram/meter persegi. Selanjutnya, pemupukan setelah 3-5 hari pengapuran.
Setelah itu kolam didiamkan paling lama 15 hari untuk menunggu Ph air mencapai
5 sehingga benih ikan bisa ditebar. "Sebelum penebaran benih ikan harus
diukur kualitas air terutama Ph. Jika Ph minimal telah mencapai 5 baru bisa
ditebar benih ikan dilanjutkan pemeliharaan ikan," ujarnya. Ditambahkan,
budidaya ikan patin yang dilakukan cukup berhasil dengan produktivitas kolam
600 meter persegi per siklus 8 bulan panen 3,6-4,4 ton dengan keuntungan Rp9,3
juta.Sementara, produktivitas budidaya ikan nila dengan luas kolam 600 meter
persegi per siklus 5 bulan sebesar 0,96-1,2 ton dan keuntungan sebesar Rp6,1
juta.
KERBAU RAWA
sumber :
http://bisniswisata.co.id/wp-content/uploads/2016/03/kerbau-rawa.jpg
Kerbau rawa
dipelihara oleh para petani/peternak di rawa lebak secara tradisional dengan
sistem kalang. Sistem kalang yaitu sistem pengembalaan setengah liar (wild),
pada siang hari kerbau dibiarkan berkeliaran di perairan rawa, dan pada malam
hari masuk kandang yang dibangun di atas air yang disebut kalang. Sistem kalang
ini diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun. Kerbau
tinggal di kandang/kalang begitu memasuki senja hari, kecuali pada musim
kemarau kerbau kadang-kadang tetap tinggal di luar sekitar kandang. Memasuki
fajar pagi kerbau keluar kandang secara bergerombol berenang sambil
mencari makanan yang tersedia di rawa sampai memasuki senja. Pada musim kemarau
saat rawa surut atau kering, para kerbau tetap digembalakan untuk mencari
lokasi yang masih berair atau berlumpur.
Kalang dibuat
dari kayu galam atau bambu. dengan luas sesuai dengan jumlah kerbau yang
ditampung umumnya antara 40-400 meter2. Untuk sekitar 200 ekor kerbau
diperlukan luas kalang 4 meter x 100 meter atau 2 meter2 per ekor.
Lantai kalang terbuat dari kayu yang harus kuat dan disangga dengan tiang
setinggi 4-6 meter lebih tinggi dari muka air tertinggi di rawa
sehingga lantai selalu dalam keadaan kering. Kalang dilengkapi dengan tangga
miring dan tidak licin untuk memudahkan kerbau naik atau turun.
Pada pinggir kalang dibuat pagar kokoh dengan tinggi 1,00-1,25 meter sehingga
kerbau tidak dapat melompat keluar. Pada sudut ujung dibuat tempat khusus
unutk perawatan kerbau yang sakit atau induk yang akan melahirkandan
menyusui. Kerbau yang sedang bunting sebaiknya dipisah dari ternak
lainnya untuk menghindari gangguan. Apabila memungkinkan lebih baik disediakan
kandang atau ruang khusus atau paling tidak pada umur bunting memasuki bulan ke
11. Juga perlu disediakan tempat pakan khusus agar tidak terjadi
rebutan dan makanan tidak terinjak-injak. Di Kalimantan Tengah
setiap petani mempunyai 1-2 kalang dan setiap kalang menampung 20-40 ekor
kerbau. Di Kalimantan Selatan pemilikan lebih besar mencapai ratusan ekor per petani.
Teknologi budidaya dan pengelolaan kerbau rawa selama ini masih sangat
sederhana sehingga perlu sentuhan teknologi untuk dapat memacu produktivitas
sehingga dapat menjadi andalan.
Pakan
Suimber pakan
bagi kerbau rawa sangat tergantung pada ketersediaan yang ada di alam
rawa. Beragam rumput rawa atau tanaman air merupakan bahan
pakan yang disukai kerbau rawa. Beberapa tanaman rawa kurang disukai, namun
juga merupakan sumber pakan alternatif dalam keadaan tertentu. Jenis
pakan yang disukai (pelateble) kerbau rawa antara lain padi hiyang (Oryza
rofipogon), kumpai miring (Paspalum commesonii), kumpai minyak (Sacciolepis
interupta), sempilang (Panicum paludosum), dan purun tikus (Eleocharis
dulcis). Jenis sumber pakan lainnya berupa rumput gajah, rumput bale,
rumput lapangan, rumput beggal, rumput berachiaris, kacang-kacangan (lamtoro,
siartro, stylo, calopogonium), enceng gondok, campehiring, banta, kayapu,
kiambang, tanding, papisangan.
Nilai Ekonomi
Harga seekor
kerbau rawa sekarang berkisar Rp. 7-10 juta yang beratnya dapat mencapai
300-500 kg/ekor. Hasil analisis ekonomi menunjukkan dengan modal
invenstasi 4 ekor kerbau dewasa (nilai per ekor kerbau rawa dewasa Rp.
7.000.000,00) untuk satu keluarga petani dengan masa pemeliharaan 2 tahun dan perolehan
anak sebanyak 4 ekor diperoleh pendapatan sebesar Rp. 10.450.000,00 (Tabel 2).
Apabila diperhitungkan secara keseluruhan usaha maka sumbangan usaha kerbau
rawa terhadap pendapatan petani per tahun mencapai 54,21%, sementara dari
usaha tani padi 43,21% dan buruh mencari kayu (galam) sekitar 2,58% dengan
total pendapatan sekitar Rp. 9.694.000,00/tahun.
DAFTAR PUSTAKA :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar