Rabu, 13 Desember 2017

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL LAHAN BASAH MASYARAKAT SUKU BANJAR.









NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL LAHAN BASAH MASYARAKAT SUKU BANJAR.

PASAR TERAPUNG, MUARA KUIN KALSEL


1.        
Konon, pasar terapung sudah mulai ada sejak Sultan Suriansyah mendirikan kerajaan di tepi Sungai Kuin dan Barito pada tahun 1526, yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Banjarmasin. Pasar Muara Kuin tergolong unik, sebab selain melakukan aktivitas jual-beli di atas air, juga tidak memiliki organisasi seperti pada pasar-pasar yang ada di darat. Jadi, tidak dapat diketahui berapa jumlah pedagang atau pembagian pedagang berdasarkan barang dagangannya.
Aktivitas Pasar
Suasana pasar Muara Kuin mulai hidup sekitar pukul 03.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita) atau setelah subuh, para pedagang menggunakan perahu jukung, yaitu sejenis perahu kecil yang terbuat dari kayu utuh. Para pedagang kebanyakan adalah kaum perempuan yang mengenakan pakaian tanggui dan caping lebar khas Banjar yang terbuat dari daun rumbia. Barang-barang yang mereka jual umumnya sama seperti pasar-pasar tradisional yang ada di darat, yaitu beras, sayur-mayur, buah-buahan, ikan, penganan (makanan) dan lain sebagainya.
Sementara para pedagang mulai berkumpul, para pembeli mulai datang dengan menggunakan jukung sendiri maupun sewaan. Suasana pasar menjadi ramai dengan hilir-mudiknya jukung, baik besar maupun kecil untuk transaksi. Apabila keadaan pasar sudah terlalu ramai dan perahu-perahu sudah berdesak-desakan, maka para pembeli dapat meloncat dari satu perahu ke perahu yang lain untuk membeli barang yang diinginkannya. Sebagai catatan, di pasar terapung ini juga sering terjadi transaksi barter antarpedagang yang dalam bahasa Banjar disebut bapanduk.
Apabila fajar mulai menyingsing dan pasar mulai
terbawa arus sungai, maka kegiatan jual-beli di pasar pun berangsur-angsur mulai berakhir. Para pedagang dan pembeli akan segera pulang ke kampung masing-masing, yang umumnya berada di sepanjang Sungai Barito dan anak-anak sungainya. Jadi, setiap harinya kegiatan transaksi di pasar ini hanya berlangsung sekitar 3 atau 4 jam saja.
Aktivitas pasar terapung di muara Sungai Kuin yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini oleh pemerintah daerah Kalimantan Selatan akhirnya dijadikan sebagai obyek wisata andalan bagi pendapatan daerah dari sektor pariwisata. Panorama pasar terapung beserta kehidupan masyarakatnya yang tinggal di sepanjang tepian sungai menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana pedesaan khas Banjar.
Untuk dapat menikmati eksotisme pasar terapung di muara Sungai Kuin-Barito dapat ditempuh melalui dua rute. Rute pertama, dari Kota Banjarmasin dengan menggunakan angkutan darat yang hanya memakan waktu sekitar 15 menit. Sedangkan, rute kedua dengan menggunakan perahu motor yang disebut kelotok. Harga sewa dari sebuah kelotok berkisar antara Rp50.000,00 hingga Rp70.000,00, tergantung dari jumlah penumpang. Apabila menggunakan perahu kelotok, dari Kota Banjarmasin menuju ke pasar Muara Kuin memakan waktu sekitar 1 jam.

2.        PERTANIAN LAHAN RAWA


sumber : https://pxhere.com/en/photo/863283 

Sistem pertanian yang dipraktekkan oleh petani Banjar di lahan rawa (lahan pasang surut, lebak, dan gambut) Kalimantan bagian selatan terutama di kawasan Delta Pulau Petak oleh para ahli, misalnya Collier, 1980: Ruddle, 1987; van Wijk, 1951; dan Watson, 1984, disebut sebagai Sistem Orang Banjar (Banjarese System) (Leevang, 2003). Salah satu penemuan petani Banjar adalah ilmu pengetahuan teknologi dan kearifan tradisional dalam pembukaan (reklamasi), pengelolaan, dan pengembangan pertanian lahan rawa. Lahan rawa lebak telah dimanfaatkan selama berabad-abad oleh penduduk lokal dan pendatang secara cukup berkelanjutan. Menurut Conway (1985), pemanfaatan secara tradisional itu dicirikan oleh (Haris, 2001):
Pemanfaatan berganda (multiple use) lahan, vegetasi, dan hewan. Di lahan rawa, masyarakat tidak hanya menanam dan memanen padi, sayuran, dan kelapa, tetapi juga menangkap ikan, memungut hasil hutan, dan berburu hewan liar.
Penerapan teknik budidaya dan varietas tanaman yang secara khusus disesuaikan dengan kondisi lingkungan lahan rawa tersebut.
Teknik-teknik canggih dan rendah energi untuk transformasi pertanian yang berhasil pada lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah telah dikembangkan dan diperluas dalam beberapa dekade oleh orang-orang Banjar, Bugis, dan migran dari Jawa. Ketiga kelompok ini mempergunakan sistem yang hampir seluruhnya berdasarkan model yang dikembangkan oleh orang Banjar (Ruddle, dalam Haris, 2001).
Sistem orang Banjar merupakan sistem pertanian tradisional lahan rawa yang akrab dan selaras dengan alam, yang disesuaikan dengan situasi ekologis lokal seperti tipologi lahan dan keadaan musim yang erat kaitannya dengan keadaan topografi, kedalaman genangan, dan ketersediaan air. MacKinnon et al. (1996) menilai sistem ini sebagai sistem multicropping berkelanjutan yang berhasil pada suatu lahan marjinal, sistem pertanian yang produktif dan self sustaining dalam jangka waktu lama. Hal ini terlihat dari penerapan sistem surjan Banjar dan pola suksesi dari pertanaman padi menjadi kelapa–pohon, buah-buahan–ikan yang diterapkan petani Banjar (Haris, 2001).
Pertanian lahan rawa lebak yang dilakukan oleh Orang/Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah umumnya masih dikelola secara tradisional, mulai dari persemaian benih padi, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama, penyakit dan gulma, pengelolaan air, panen, hingga pasca panen. Fenomena alam dijadikan indikator dan panduan dalam melaksanakan kegiatan bercocok tanam. Ketergantungan pada musim dan perhitungannya pun masih sangat kuat. Apabila menurut perhitungan sudah waktunya untuk bertanam, maka para petani akan mulai menggarap sawahnya. Sebaliknya, apabila perhitungan musim menunjukkan kondisinya kurang baik, maka umumnya para petani akan beralih pada pekerjaanlainnya.Sebagai upaya penganekaan tanaman, petani memodifikasi kondisi lahan agar sesuai dengan komoditas yang dibudidayakan. Petani membuat sistem surjan Banjar (tabukan tembokan/tukungan/baluran). Dengan penerapan sistem ini, di lahan pertanian akan tersedia lahan tabukan yang tergenang (diusahakan untuk pertanaman padi atau menggabungkannya dengan budidaya ikan, mina padi) dan lahan tembokan/tukungan/baluran yang kering (untuk budidaya tanaman palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman tahunan dan tanaman industri). Pengolahan tanah menggunakan alat tradisional tajak, sehingga lapisan tanah yang diolah tidak terlalu dalam, dan lapisan pirit tidak terusik. Dengan demikian, kemungkinan pirit itu terpapar ke permukaan dan teroksidasi yang menyebabkan tanah semakin masam, dapat dicegah. Pengolahan tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengelolaan gulma (menebas, memuntal, membalik, menyebarkan) yang tidak lain merupakan tindakan konservasi tanah, karena gulma itu dikembalikan ke tanah sebagai pupuk organik (pupuk hijau). Selain sebagai pupuk, rerumputan gulma yang ditebarkan secara merata menutupi permukaan lahan sawah juga berfungsi sebagai penekan pertumbuhan anak-anak rumput gulma.

   BUDIDAYA IKAN DILAHAN GAMBUT


sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPyEWi89tkUc8EeNhH9GAXOWZ1h9s-Q2QSSc3P0pJFGGnT2GGp39pXiqJmQx0kBORwe7HyY6Kw_lEapsC1Rv8-SGWmiSDHPfqHoHbBdd-DRGZ42WZip_9i7j0DBHy8FEtZI7nVkETiGyqa/s1600/Foto0097.jpg
 

Martapura,  (Kalsel) - Budidaya ikan air tawar terutama jenis patin dan nila di lahan gambut layak dilakukan sehingga potensi lahan gambut yang banyak tersebar di Kalimantan bisa dimanfaatkan lebih maksimal. Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin Kabupaten Banjar Endang Mudjiutami di Kota Martapura, Kalsel, Minggu mengatakan, pihaknya sudah melakukan percontohan. "Percontohan budidaya patin dan nila di lahan gambut sudah dilakukan di Desa Garung Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalteng," ujarnya. Ia mengatakan, perkembangan budi daya ikan air tawar di Kalteng masih didominasi budidaya kolam menggunakan air sistem pasang surut mengandalkan naik turun air sungai. Hal itu sering terkendala datangnya air asam dengan Ph rendah kurang lebih 3 yang berasal dari lahan gambut sehingga menyebabkan kematian ikan budidaya di dalam kolam. "Informasi dari pembudidaya ikan, faktor keasaman air yang menjadi kendala bagi pengembangan budidaya ikan di Kalteng sehingga dilakukan percontohan budidaya," ungkapnya. Menurut dia, dipilihnya ikan patin siam (pangasius hypophthalmus) karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan cenderung lebih tahan terhadap oksigen rendah dan keasaman air. Sedangkan ikan nila (oreochromis niloticus) adalah salah satu komoditas unggulan Kementerian Kelautan dan Perikanan disamping mampu bertahan terhadap lingkungan yang buruk. Dikatakan, pembudidayaan ikan di lahan gambut dimulai persiapan kolam dengan pengeringan dan pengolahan tanah untuk membuang seluruh air dan lumpur hingga dasar kolam. Kemudian pengapuran memakai kapur tohor untuk membasmi hama atau penyakit, memperbaiki struktur tanah dan menaikkan Ph dengan dosis kurang dari 300 gram/meter persegi. Selanjutnya, pemupukan setelah 3-5 hari pengapuran. Setelah itu kolam didiamkan paling lama 15 hari untuk menunggu Ph air mencapai 5 sehingga benih ikan bisa ditebar. "Sebelum penebaran benih ikan harus diukur kualitas air terutama Ph. Jika Ph minimal telah mencapai 5 baru bisa ditebar benih ikan dilanjutkan pemeliharaan ikan," ujarnya. Ditambahkan, budidaya ikan patin yang dilakukan cukup berhasil dengan produktivitas kolam 600 meter persegi per siklus 8 bulan panen 3,6-4,4 ton dengan keuntungan Rp9,3 juta.Sementara, produktivitas budidaya ikan nila dengan luas kolam 600 meter persegi per siklus 5 bulan sebesar 0,96-1,2 ton dan keuntungan sebesar Rp6,1 juta.

KERBAU RAWA
 


sumber : http://bisniswisata.co.id/wp-content/uploads/2016/03/kerbau-rawa.jpg
 

Kerbau rawa dipelihara oleh para petani/peternak di rawa lebak secara tradisional dengan sistem kalang. Sistem kalang yaitu sistem pengembalaan setengah liar (wild), pada siang hari kerbau dibiarkan berkeliaran di perairan rawa, dan pada malam hari masuk kandang yang dibangun di atas air yang disebut kalang. Sistem kalang ini diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun.  Kerbau tinggal di kandang/kalang begitu memasuki senja hari, kecuali pada musim kemarau kerbau kadang-kadang tetap tinggal di luar sekitar kandang. Memasuki fajar pagi  kerbau keluar kandang secara bergerombol berenang sambil mencari makanan yang tersedia di rawa sampai memasuki senja. Pada musim kemarau saat rawa surut atau kering,  para kerbau tetap digembalakan untuk mencari  lokasi yang masih berair atau berlumpur. 
Kalang dibuat dari kayu galam atau bambu. dengan luas sesuai dengan jumlah kerbau yang ditampung umumnya antara 40-400 meter2.  Untuk sekitar 200 ekor kerbau diperlukan luas kalang 4 meter x  100 meter atau  2 meter2 per ekor.  Lantai kalang terbuat dari  kayu yang harus kuat dan disangga dengan tiang setinggi 4-6 meter  lebih tinggi dari  muka air tertinggi di rawa sehingga lantai selalu dalam keadaan kering. Kalang dilengkapi dengan tangga miring dan tidak licin untuk memudahkan kerbau naik atau  turun.  Pada pinggir kalang dibuat pagar kokoh dengan tinggi 1,00-1,25 meter sehingga kerbau tidak dapat melompat keluar.  Pada sudut ujung dibuat tempat khusus unutk perawatan kerbau yang sakit atau induk yang akan melahirkandan menyusui.  Kerbau yang sedang bunting sebaiknya dipisah dari ternak lainnya untuk menghindari gangguan. Apabila memungkinkan lebih baik disediakan kandang atau ruang khusus atau paling tidak pada umur bunting memasuki bulan ke 11.  Juga perlu disediakan tempat  pakan khusus agar tidak terjadi rebutan dan makanan tidak  terinjak-injak.  Di Kalimantan Tengah setiap petani mempunyai 1-2 kalang dan setiap kalang menampung 20-40 ekor kerbau. Di Kalimantan Selatan pemilikan lebih besar mencapai ratusan ekor per petani. Teknologi budidaya dan pengelolaan kerbau rawa selama ini masih sangat sederhana sehingga perlu sentuhan teknologi untuk dapat memacu produktivitas sehingga dapat menjadi andalan.
Pakan
Suimber pakan bagi kerbau rawa  sangat tergantung pada ketersediaan yang ada di alam rawa.  Beragam rumput  rawa atau tanaman air merupakan  bahan pakan yang disukai kerbau rawa. Beberapa tanaman rawa kurang disukai, namun juga merupakan sumber pakan alternatif  dalam keadaan tertentu.  Jenis pakan yang disukai  (pelateble) kerbau rawa antara lain padi hiyang (Oryza rofipogon), kumpai miring (Paspalum commesonii), kumpai minyak (Sacciolepis interupta), sempilang (Panicum paludosum), dan purun tikus (Eleocharis dulcis).  Jenis sumber pakan lainnya berupa rumput gajah, rumput bale, rumput lapangan, rumput beggal, rumput berachiaris, kacang-kacangan (lamtoro, siartro, stylo, calopogonium), enceng gondok, campehiring, banta, kayapu, kiambang, tanding, papisangan.

Nilai Ekonomi
Harga seekor kerbau rawa sekarang berkisar Rp. 7-10 juta yang beratnya dapat mencapai 300-500 kg/ekor.  Hasil analisis ekonomi menunjukkan dengan modal invenstasi 4 ekor kerbau dewasa (nilai per ekor kerbau rawa dewasa Rp. 7.000.000,00) untuk satu keluarga petani dengan masa pemeliharaan 2 tahun dan perolehan anak sebanyak 4 ekor diperoleh pendapatan sebesar Rp. 10.450.000,00 (Tabel 2). Apabila diperhitungkan secara keseluruhan usaha maka sumbangan usaha kerbau rawa terhadap pendapatan petani  per tahun mencapai 54,21%, sementara dari usaha tani padi 43,21% dan buruh mencari kayu (galam) sekitar 2,58% dengan total pendapatan sekitar Rp. 9.694.000,00/tahun.



DAFTAR PUSTAKA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Kebenaran Dalam konteks Pancasila

Artikel ‘Kebenaran Dalam Konteks Pancasila Diajukan Untuk Memenuhi Tugas mata kuliah filsafat pancasila              DOSEN PEMBIMBING ...